Sunday, January 14, 2007

Bogor kotanya Raden Saleh

Berbicara mengenai Kota Bogor dan sejarahnya akan terasa kurang lengkap apabila tidak membicarakan tentang Raden Saleh", seorang pelukis besar Indonesia , sebab di kota ini awal karirnya berangkat dan disini pula tempat peristirahatannya yang terakhir.

Bila kita berjalan menyusuri Jalan Pahlawan, tepatnya di desa Bondongan, yang berjarak 2 km dari pusat kota Bogor, 50 meter dari tepi jalan akan kita tcmui sebuah makam sederhana dengan tulisan pada nisannya yang segera akan memancing rasa ingin tahu.


Tulisannya itu berbunyi :

RADEN SALEH,
Djoeroe gambar dari Sri Padoeka Kanjeng Raja Wolanda, Ridder der Ode van de Eikenkroon, Com­mandeur met de ster der Franz Joseph Orde, Ridder der kroon Orde Van Prulsen, Ridder van de Witten Valko
Meninggal di Bogor, 23 April 1880 .


Makam Raden Saleh
1. Siapa Raden Saleh sebenarnya ?

Raden Saleh dianggap sebagai seorang perintis seni lukis modern Indonesia . Hampir sepertiga dari umurnya dihabiskannya dengan merantau, belajar dan berkarya di luar negeri, antara lain di Negeri Belanda, Jerman , Austria , Italia dan Perancis. Karyanya dihargai oleh pelukis-pelukis terkenal maupun penguasa-penguasa negara-negara tersebut.

Lahir di Terboyo dekat Semarang dengan Nama Sarip Saleh, dari Ibu Mas AJeng Zarip Hoeseen dari Ayah Sayid Hoeseen bin Alwi bin Awal. la merupakan keturunan ketiga (cicit) dari Kyai Ngabehi Kertoboso Boestam (Bupati Pembantu di Terboyo yang hidup tahun 1681-1759), Jadi ia sebenarnya tidak termasuk golongan ningrat tinggi. Tetapi di Eropa ia kerap kali diperkenalkan pada pelbagai istana sebagai searang Pangeran Jawa, suatu citra yang tak pernah dicoba disangkalnya.

2. Awal Karir

Bakat seninya pertama kali dilihat AA Payen, seorang pelukis Belgia yang tiba di Betawi pada tahun 1817 dan menjadi guru gambar resmi pada s'lands plantentuin yang kini menjadi Kebun Raya Bogor. Payen memasukkannya ke sekolah untuk anak-anak bumi putra di Cianjur; kemudian membawanya ke Bogor setelah masa belajarnya selesai, dan mengajarnya menggambar dan melukis.

Setelah Payen kembali ke Eropa tahun 1815, Sarip Saleh ikut keluarga Belgia lain, Jean Baptiste de Linge. Tahun 1829 Sarip Saleh mengikuti Jean Baptiste de Linge yang ditugaskan ke Negeri Belanda yang pada waktu itu berada di bawah pemerintahan Raja Willi cm I, Saleh diberi kesempatan belajar selama 2 tahun.

Di Den Haag negeri Belanda, sebelum menjadi seniman yang berdikari Saleh belajar sambil bekerja pada pelukis potret, pembuat sketsa dan ahli Litografi Cornel is Cruscman. Pada waktu itu juga ia belajar mengkopi lukisan terkenal karya Rembrandt dan van Dijk. Lukisan Pemandangan alam dipelajarinya dari pelukis Andreas Schelfhout.

3. Perjalanan menuju sukses

Keahliannya melukis membuat Saleh dapat bergaul di kalangan ningrat dan orang-orang terkemuka pribumi maupun Belanda, dan di Negeri Belanda pergaulan itu dikembangkan lebih lanjut, ia melukis potret-potret tokoh-tokoh atau keluarganya alas permintaan atau kemauan sendiri sebagai tanda terima kasih atau persahabatan.

Dalam tahun 1839 ia mendapat kesempatan untuk mengadakan perjalanan di pelbagai negara Eropa, seperti Jerman , Austria , Italia dan Perancis. Kemudian ia menetap di Dresden , dan di kota ini ia berhubungan dengan Raja Riendrich August II dari Sachsen. Akhir tahun 1844 Saleh pergi ke Negeri Belanda lagi (Raja William II) untuk mcmperpanjang beasiswanya yang sebelumnya sudah berkali-kali diperpanjang.

Kemudian ia tinggal di Paris, mcmpelajari karya-karya seni terkemuka dan bahasa Perancis. Pembawaanya konon yang menyebabkan penulis Perancis Eugene Sue mengambilnya sebagai model tokoh Prince Djalma dalam karyanya "Juif Errant".

4. Kembali ke Tanah Air

Raden Saleh kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1851; menikah dengan Winkelman, seorang nona Indo Belanda dan mendirikan sebuah rumah besar yang mirip Istana di Cikini. Rumah itu masih tegak pada hari ini, hanya fungsinya telah berubah menjadi rumah sakit, yakni Rumah Sakit DGI Cikini. Sebagian dari halaman rumahnya yang sangat luas menjadi Komplek Taman Ismail Marzuki.

Perkawinannya dengan istri pertamanya tidak kekal. Setelah bercerai ia menikah lagi dengan seorang putri Yogya yang masih kerabat Sultan Hamengku Buwono VI. Mereka mcmilih tinggal di Bogor , di sebuah rumah bekas kediaman Sultan Tamijidilah dari Banjarmasin yang diasingkan ke Bogor dalam tahun 1859. Letaknya di belakang Hotel Bellevue yang sekarang ditempati oleh bangunan Ramayana Theatre. Di sini ia tetap menghasilkan karya-karya lukisannya.

Raden Saleh meninggal dunia lepas tengah hari pukul 13.00 pada tanggal 23 April 1880 akibat serangan trombasis; gumpalan darah menyumbat peredaran darahnya, ia dimakamkan di tanah yang dipilihnya sendiri, yang sebenarnya diperuntukkan bagi istrinya tercinta yang sakit parah.

5. Gelar-gelar Kehormatan dan Keanggotaannya Dalam Perhimpunan-Perhimpunan IImiah

Gelar-gelar kehormatan yang diterimanya sebelum pulang ke Tanah Air yaitu "Ridder der Orde van de Eikenkroon" (Kesatria dari Orde van de Eikenkroon) dari raja Belanda II yang diberikan lukisan seekor singa yang berkelahi mati-matian melawan dua ekor banteng. Kemudian gelar "Pelukis Sri Paduka Raja" dari William II yang diterimanya pada tahun 1850.

Dari kaisar Austria Frans Joseph ia menerima gelar "Commandeur met de ster de Franz Joseph Orde" (Panglima dengan bintang Orde Franz Joseph). Kemudian "Ridder der Kroon van Pruisen" (Ksatria dan Orde Mahkota) dari raja Prusia Wilheim I yang diberinya sebuah Iukisan berjudul "Perkelahian Singa"; dan gelar terakhir adalah "Ridder van de Witten Valk". Ketiga gelar terakhir diperolehnya ketika sudah kembali ke Indonesia .

la juga menjadi anggota kehormatan Perhimpunan untuk Kebun Binatang dan Tumbuh-tumbuhan di Batavia; anggota kehormatan Perhimpunan Betawi untuk seni dan IImu Pengetahuan (Bataviaasch Gennotschap voor Kunsten en Wetenschhappen); dan keanggotaannya untuk Koninkijk Instituut voor de Taal, Land-en Volkenkunde di negeri Belanda; dan Natuurkundig Verreninging in Nederlandsch India (Perhimpunan IImu Pengetahuan Alam di Hindia Belanda).

6. Mengenal Pribadinya Lewat Lukisannya

Raden Saleh seorang pelukis naturalis, dan ia adalah seorang pnbadl yang mendambakan kebebasan tanpa hambatan apapun untuk mengerjakan ilham-ilham yang terbit dari jiwanya. Seorang guru besar Belanda Prof. P. J. Veth mcmuji tentang dua lukisannya "Kebakaran di Hutan" dan "Perburuan Kijang" sebagai berikut : "Orang hanya perlu memandang sekilas pada kedua lukisan untuk dapat meyakinkan diri bahwa pelukis yang paling lenial diantara orang kulit putih harus mengakui orang berkulit sawo matang ini sebagai orang yang setaraf mereka. Maaf kepada mereka yang atas dasar ethnologi mencap orang Jawa sebagai tanggung-tanggung untuk selamanya. Lukisan-Iukisan Raden Saleh lebih bersifat studi hewan dan pada Pemandangan alam. Tetap! studi hewan yang bagaimana? Bukan ternak yang tenang merumput dl padang rumput, bukan kerbau lamban di depan bajak atau gerobak yang menarik perhatiannya, tetapi kijang yang lincah, kuda yang gagah, banteng yang tinggl hati, harimau yang haus darah, dalam detik-detik waktu mereka sedang terbakar oleh semangat perburuan atau oleh ketakutan bahaya yang tak dapat dihindari, dilecut dengan luapan scmangat tinggi. Hanya sedlklt pelukls yang leblh berhasll melukis duma hewan, hanya sedikit yang berhasil melukiskan kcmarahan, kegeraman, ketakutan penghuni hutan, yang lebih balk untuk dinikmati".

Sebuah lukisannya yang menimbulkan tanda tanya adalah yang menggambarkan Pangeran Diponegoro yang disebutnya sendiri "Suatu adegan bersejarah, penangkapan pemimpin Jawa Diponegoro" yang dlbuatnya untuk raja Belanda. Yang aneh adalah, mengapa justru saat penangkapannya yang dilukiskan.

Beberapa diantara hasil-hasil karya Raden Saleh yang masih dapat kita lihat dalam Museum Puri Lukisan di Taman Fatahillah, Jakarta , membuktikan bahwa Raden Saleh adalah seorang pelukis gcmilang yang berbakat, seorang seniman yang kreatif dan sangat ahli.

Tugu Kujang

Tugu Bogor sering juga disebut Tugu Kujang. Tugu Kujang ini, didirikan untuk mengharmati peresmian Ibukata Pakuan dari Kerajaan pajajaran yang dipimpin Prabu Siliwangi, hal ini ditunjukkan dari penggunaan simbol senjata Kujang. Senjata ini merupakan senjata rakyat & panji kebesaran berlekuk tujuh dengan 3 lubang di Ibagian pinggir & satu lubang di bagian tengah.

Tujuan lain dari pendirian tugu ini ialah pengganti monumen kota dari tugu mengembalian kota Bogor dari tangan penguasa Inggris ke Langan Belanda (1836), yang dulu terletak dipertigaan Jalan Aehmad Yani-Sudirman (Air Maneur). Kemungkinan besar yang dimaksud tugu tersebutadalah witte pal atau pal utama (1939).

Monumen ini didirikan pada simpang tiga jalan raya Pajajaran - Otto Iskandardinata - Baranangsiang, pada luas tanah berukuran 26x23 m. Yang mempunyai tinggi 17 m dan bagian senjata Kujangnya setinggi 6 m, terbuat dari stainless steel berlapiskan perunggu dan kuningan. Di setiap menara beton yang berdimensi tiga ini dipasang perisai lambang Kolamadya Bogor yang terdiri dari gambar Burung Garuda, Istana Kepresidenan, Gunung Gede, dan Senjata Kujang.

Di samping tugu ini dibuat juga suatu plaza berukuran 48x19 meter yang berisikan duplikat prasasti Lingga dan Batu Tulis Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja Ratu Adil.

No comments: